Arkoun: Al-Quran yang Tak Otentik


Pemikiran Tafsir Arkoun

(Diskusi Bahasa Indonesia[1])

Semarang-Sudah ke sekian kalinya penulis menengok kegiatan di asrama. Pada Rabu malam itu (15/05) suasana terdengar agak gaduh. Ternyata sedang membahas salah satu pemikir Islam yang punya pemikiran agak liberal tentang al-Quran. “al-Quran kita ini tidak otentik!”, begitu statemennya. Siapa ya? Ya, ia adalah Arkoun. Untuk lebih jelasnya, silahkan baca hasil diskusi yang telah penulis edit berikut ini.

Pengantar (pembicara)

1. Biografi

Arkoun lahir pada 1 Pebruari 1928 di al-Jazair. Sejak kecil telah bergelut dengan tiga bahasa, Barbar (bahasa asli), Arab (karena ekspansi Islam), dan Perancis (bahasa pemerintah). Pada 1954, ia mendaftarkan diri untuk sekolah ke luar negeri, Perancis-lalu diterima-. Ia belajar secara lebih intensif dalam bidang bahasa/sastra dan pemikiran Islam.

Disamping studinya tentang bahasa, kultur/budaya Barat ala Perancis juga sudah menjadi “sahabat karib”nya sehari-hari, sampai ia menamatkan gelar doktoralnya pada tahun 1969 dari Universite de Paris Sorbonne.

2. Pemikiran

Hal pertama yang menjadi titik tolak (semua) pemikiran Arkoun adalah pemahamannya tentang al-Quran. Ia memahami al-Quran dari dua sisi.

  1. a.      Pertama, sebagai ummu al-kitab, dimana ia berada di lauh mahfud dan dijaga oleh Tuhan. Di sini al-Quran tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran manusia, dengan cara apapun. Al-Quran inilah kalamullah dan kebenarannya bersifat mutlak.
  2. Kedua, sebagai teks biasa, dimana al-Quran di sini disamakan dengan kitab/ buku-buku yang lain. Hanya tulisan yang diterbitkan/dicetak-dikodifikasi pada zaman Utsman. Jenis al-Quran yang kedua inilah yang sekarang ada pada kita, manusia, dipelajari dan ditafsirkan. Kebenarannya tidaklah mutlak seperti yang pertama.

Kesadaran yang harus tetap dijaga adalah bahwa yang ada pada kita adalah teks (tulisan-red), bukan yang sebenarnya (di lauh mahfud). Arkoun merasa kecewa dengan apa yang ada padanya, lingkungannya (al-Jazair). Kebanyakan masyarakat dan ulama’ hanya percaya dan berhujjah dengan teks secara formal, bukan makna/tafsiran yang mendalam. Pun, Arkoun juga dipengaruhi konsep al-Quran yang sebelumnya telah disebutkan. Oleh karena itu, ia benar-benar sangsi dan skeptis dengan otentisitas teks Quran sekarang.

Kemudian Arkoun juga memberikan rasionalisasi tentang ketidak-otentikan al-Quran, lagi. Dulu, al-Quran adalah verbal, lisan, yang dihafalkan oleh para sahabat pada zaman Nabi. Tentu hal itu sangat jauh berbeda dengan sekarang yang telah dituliskan. Sehingga memunculkan kesan multi-tafsir oleh si pembaca. Makanya, otentisitas al-Quran tidak bisa tetap dipertahankan secara kuat. Derajat al-Quran tertulis adalah di bawah al-Quran verbal/lisan zaman rasul.

Dari sini, kemudian Arkoun membuat teori dekonstruksi. Artinya, kita harus berani keluar dari teks yang ada, dengan tidak meyakini kebenaran “teks” itu seutuhnya. Terlepas dari pemahamannya yang terkesan menolak al-Quran, Arkoun mencoba membaca teks dari sudut yang multidimensi. Tak ayal, ia mendalami berbagai bidang keilmuan, mulai dari bahasa, semiotika, sosiologi, hingga antropologi, dan sebagainya. Dari situ, Arkoun bisa menawarkan hal “baru”, yang menurutnya lebih relevan dan bisa diterima oleh zaman. Ini menjadi salah satu upaya riil tentang kaidah al-Quran itu : shalihun likulli zaman wa makan.

Karena al-Quran ada sebagai petunjuk bagi manusia, maka isinya harus sesuai dengan perkembangan hidup manusia. Dari situ, Arkoun mencoba mengkritik pemahaman yang “apa adanya” (tekstual) pada zaman itu. Namun demikian, ia juga mendapat tentangan keras dari lingkungan, karena liberalitas yang dianggap sebagai “kesalahan” oleh ulama-ulama lain.

Hal yang juga dikemukakan oleh Arkoun adalah tentang historisitas. Dalam memahami teks yang ada, kita perlu melepas segala bentuk ideologi dan prasangka. Lalu mencoba mempelajari sejarah runtutan kejadian yang ada dengan multi disiplin ilmu. Dari situ,  maka kita akan bisa mengetahui makna yang dimaksud oleh teks. Bukan sekedar membaca teks, tapi memahaminya.

Pertanyaan

  1. Kenapa Arkoun bisa berpikiran se-liberal itu? Padahal sebelumnya, ia sempat mempelajari al-Itqan-model tafsir klasik- [Samsul]
  2. Bagaimana Arkoun menanggapi kontradiksi yang terjadi antara teks al-Quran dengan fakta/peristiwa kekinian? Ia terkesan menyalahkan teks al-Quran (diragukan otentisitasnya)

Sejauh bacaan kami, dalam menyikapi hal ini, ada dua cara. Pertama, mencoba memperbaiki/meninjau cara penafsirannya. Kedua, mencoba menganalisa peristiwa/ problem yang terjadi. Bukan menyalahkan teks. [Samsul]

  1. Sebenarnya apa sanggahan/dalil Arkoun dalam pemikirannya tentang ke-tidak otentik-an al-Quran? Bagaimana ia melawan pemahaman mapan (pada umat Islam saat itu) yang mengimani bahwa al-Quran sekarang itu sama dengan zaman Rasul . [Aufal]
  2. Sebenarnya bagaimana konsep pemikiran Arkoun mengenai penggunaan al-Quran itu sendiri? Di satu sisi ia menolak otentisitasnya, namun di sisi lain ia mencoba menafsiri (ulang) teks-teks al-Quran. [Aufal

Diskusi

Yang Arkoun lakukan pada saat itu adalah mengkritik nalar Islam. Nalar Islam pada saat itu berkata: al-Quran itu otentik dan sakral. Maka akal/pemikiran tidak boleh melawan/menolak teks-teksnya. Yang boleh dilakukan adalah menafsirkan/memahaminya secara bil-ma’tsur/riwayah. Dalam arti, boleh menafsirkan al-Quran dengan sumber hukum yang lain, seperti (ayat lain) al-Quran, hadits, dan ijma’.

Namun yang menjadi titik poin dan tujuan Arkoun adalah membuat bagaimana teks al-Quran bisa selaras/harmonis dengan kenyataan yang ada-dulu, sekarang, dan akan datang. Baginya, sampai kapanpun teks-teks al-Quran akan bisa ditafsirkan dan dipahami dengan berbagai sudut, karena otentisitasnya bukanlah sebagai kebenaran mutlak. Pun, baginya kodifikasi bukan menjadi patokan bahwa al-Quran yang benar adalah (yang pertama) itu, mushaf Utsmaniyyah. Karena kodifikasi juga masih menyimpan keraguan-keraguan lain.

Jika menurutnya al-Quran tidak lah otentik, kenapa ia masih menggunakan teks al-Quran? [Mujab]. Di sini Arkoun terkesan tidak konsisten. [Aufal]

Kendatipun demikian, dalam prakteknya sendiri, Arkoun masih menngunakan teks al-Quran dalam memahami sebuah hukum. Makanya, pada pembagian al-Quran menurutnya ada dua, al-Quran yang di Lauh Mahfudz dan di dunia (di kita). Yang di Lauh Mahfud lah yang (benar-benar) dijaga dan otentik kebenarannya.

Mengenai apa yang diimani Arkoun tentang al-Quran, ia “kecewa” dengan teks dyang ada. Menurutnya ia tidak akan mungkin sesuai dengan zaman secara terus menerus, karena teks itu statis, sedangkan zaman itu dinamis. Arkoun menggunakan istilah semiotik linguistik, untuk memahami teks al-Quran. Dimana teks-teks al Quran diyakini sebagai simbol-simbol bahasa yang melambangkan keadaan lingkungan (tempat turunnya) dan waktu (saat turunnya). Sedangkan tentang Arkoun yang masih menggunakan teks, jawabannya adalah “itu semangat Arkoun”. Ia pada dasarnya ingin mengeluarkan umat muslim dari kejumudan berfikir. Jika keotentikan al-Quran sudah disakralisasi (seperti pada masyarakat muslim kebanyakan), maka menurutnya hal itu akan menimbulkan justifikasi teks, (teks-dhahir: paling benar), padahal pembuatan teks itu sendiri sudah ada campur tangan manusia. Maka kemudian, statemen itu pun muncul. [Abid]

Arkoun itu pembaharu, dan bagi kami, semangatnya untuk menemukan makna baru, itulah yang terpenting dan perlu dipelajari. [Iskandar]

Bagi kami, Hermeneutika itu mengagumkan! Arkoun adalah salah satu tokohnya. Ia masuk ke dalam aliran hermeneutika subjektif, dimana ia punya metode sastra semiotik (bahasa simbol dan simbol bahasa). Dampaknya, Arkoun sangat kecewa dengan pemaknaan dan penafsiran yang ada (menitikberatkan teks-dhahir). Kami juga sependapat, jika Arkoun mengatakan al-Quran yang otentik adalah yang ada di Lauh Mahfud. Lalu, ia juga membagi teks verbal (zaman rasul) dan non-verbal (sekarang), yang keduanya memiliki otentisitas yang berbeda pula.

Menurut Arkoun, al-Quran memerlukan revisi-revisi makna (penafsiran). Hal itu demi memaknai secara penuh apa yang menjadi tanda/simbol tadi, semiotik, dalam kapasistan al-Quran sebagai teks sejarah dan peradaban. [Khamyah]

Ada satu hal yang sangat menarik dari perbincangan Arkoun. Semangatnya. “naqd al-aql al-islami”, kritik nalar Islam, merupakan semangat Arkoun. Ia hidup dalam lingkungan bernuansa sufisme yang sangat kental, al-Jazair, dimana banyak sekali masyarakat “brukut[2]”. Hal ini mendorong Arkoun untuk mengetahui lebih dalam tentang ajaran dan sumber ajaran Islam, al-Quran.  Ia ingin memunculkan makna dhahir dan makna bathin.

Pendekatan yang digunakan Arkoun adalah linguistik, antropologis-mistis, dan imajinatif. Pertama, linguistik. Menurutnya, al-Quran mempunyai makna abstrak, bukan formal. Dari sini kebanyakan umat Islam gagal memaknai al-Quran. Terjebak oleh kata-kata (teks). Kedua, antropologis-mistis. Baginya, al-Quran diturunkan bertujuan untuk keteraturan dan kebutuhan mahluk. Untuk itu, maka apa yang ada di al-Quran harus sesuai dengan yang ada di makhluk (masyarakat). Artinya, al-Quran harus membumi, sehingga bisa ditangkap segi antropologisnya. Ketiga, imajinatif. Artinya, pesan-pesan al-Quran harus diungkap secara lebih luas. Makanya, ia agak sentimen dengan mushaf utsmaniyah, menurutnya al-Quran itu luas, tidak perlu dikodifikasi. [Mas Aziz]

Data:

Pemateri       : M. Shobahus Sadad

Moderator   : Hakki Akmal Labib

Peserta          : Iskandar(sup), Ghofur, Arief8, Samsul, Muhammad, Aufal, Ha-jire, Zaqqy, Andy, Abied, Fahmi, Arief7, Khamyah(sup), Mas Aziz(sup), Yeisha J


[1] Diskusi bahasa Indonesia biasa dilakukan setiap hari Rabu malam Kamis. Diikuti oleh warga asrama, mencakup mahasiswa dan supervisor.

[2] Brukut maksudnya adalah orang-orang Islam yang “tertutup”, dalam arti pemikirannya tidak terbuka. Salah satu penyebabnya, karena terlalu tekstualis dalam memahami nash.

Leave a comment